Kebijakan
Pemerintah Indonesia Selama Periode 1959-1966
Pada periode 1960-1965, perekonomian
Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari kebijakan
pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin ekonomi
terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat
membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan, jika
pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju
inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan investasi merosot
tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) dibebani
Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah juga
sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah, serta
menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada lembaga-lembaga negara
dan pengusaha.
Mulanya pada tahun 1959, pemerintah
telah melakukan kebijakan pengetatan moneter sebagai upaya mengatasi tekanan
inflasi. Kebijakan pengetatan moneter 1959 tersebut antara lain dilaksanakan
dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit bagi tiap-tiap bank secara individual
pada tanggal 8 April 1959. Selain itu, pemerintah dengan Undang-Undang (UU) No.
2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering uang pada tanggal 25 Agustus 1959 dengan
menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100,
serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959 membekukan simpanan giro dan deposito
sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000 yang akan diganti menjadi simpanan
jangka panjang. Penanganan laju inflasi ini terus berlangsung hingga awal
1960-an dengan melakukan pembatasan kredit perbankan secara kuantitatif dan
kualitatif.
Dalam paket kebijakan moneter itu,
dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD
menjadi Rp 45 per USD. Penurunan nilai rupiah tersebut, tidak berlaku dalam
perhitungan laba maupun pendapatan yang dikenakan pajak dan tidak
diperhitungkan dengan pajak apapun. Pada periode ini ditetapkan pula kebijakan
mengenai pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan harga valuta rupiah.
Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan pungutan ekspor sebesar
20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan untuk membayar pungutan
impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada jenis barang impor- kepada
pemerintah.
Pada paruh pertama periode 1960-an,
pengeluaran anggaran pemerintah semakin besar, terutama dalam pembiayaan proyek
pemerintah yang menambah dampak inflatoir dari pelaksanaan keuangan negara.
Untuk mengatasi perkembangan ini, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah
menerbitkan uang rupiah baru yang nilainya diciutkan. Nilai Rp 1.000 -uang
lama- diturunkan menjadi Rp 1 -uang baru. Berikutnya, untuk mempertahankan
cadangan devisa yang terus menurun pada periode ini, pemerintah melakukan
pengawasan terhadap sumber devisa yaitu lalu lintas perdagangan serta
penerimaan dan pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa serta pengawasan modal
untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Pada masa demokrasi terpimpin,
politik luar negeri Indonesia lebih cenderung berpihak kepada blok timur.
Kedekatan Indonesia dengan Cina dan Rusia menyebabkan renggangnya hubungan
Indonesia dengan negara-negara blok barat.
Kemudian, dengan alasan semangat
revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus 1965, pemerintah memutuskan
untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank Dunia, dan PBB. Dengan penarikan
diri tersebut, rencana-rencana pengembalian utang atas Outstanding Drawing
-sesuai dengan jadwal yang telah disepakati diganti dengan persetujuan
Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD 61,9 juta menjadi USD 63,5
juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan dilunasi dalam 10 kali
angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari 1966. Keadaan ekonomi
yang semakin tak menentu pada periode ekonomi terpimpin mendorong pemerintah
untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia dan Statistik Moneter.
Larangan penerbitan tersebut dilakukan demi menjaga stabilitas perekonomian
Indonesia.
Kebijakan moneter merupakan
kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk mengatur jumlah uang dalam
perekonomian guna mengatasi masalah-masalah makroekonomi seperti inflasi,
pengangguran dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan
dengan cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang beredar dapat membantu
menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil, sekaligus mempercepat
pertumbuhan ekonomi.
Inflasi adalah suatu keadaan di mana
harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga sektor yang memungkinkan terjadinya
inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2) tabungan dan investasi; serta (3)
penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak akan terjadi bila ketiga sektor
tersebut seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor
pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor
pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaannya,
sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila bankbank mengucurkan
kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta tersebut untuk
kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun non investasi. Untuk
mengatasi inflasi, bank sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan membatasi
pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga cara:
kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.
Kebijakan Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran
pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi
yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh
besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti
Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces
(Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah
Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat
pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai
perbandingan antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan uang rupiah
khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp
1-, serta pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang
logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut.
Sejak saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama
beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi
swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan
harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang
rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa
harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini justru
meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara
terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang
berbeda-beda. Hal itu tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara
tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun
waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru
untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi
Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat
kondisi perekonomian sedemikian berkembang sehingga perekonomian barter
(perekonomian yang mensyaratkan double coincidence of want)
dirasakan tidak memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam
perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar,
alat pengukur nilai, ukuran pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara
sekian banyak benda dalam pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena
masyarakat mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang
berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata
lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan
penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah
jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain kepada kita
sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan kepadanya. Naik turunnya
nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan masyarakat untuk
menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan cenderung menaikan nilai
uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus
membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan
menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di
lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin
berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan
meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun akan
menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mengatasi
inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu
kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada
saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik
Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal
13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan
perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari
Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh
wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai dengan
tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu memotong nilai uang
sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan simpanan masyarakat untuk
dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang
dibekukan tersebut harus disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan
mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang politik, Pemerintah
menerapkan GBHN baru yang dinamai Manipol (Manifesto Politik) USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh
unsur sumber daya dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu
perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan
bersatu padu membangun kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang
politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang secara ekonomis
tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan proyek mercusuar. Di
samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai pengeluaran baru seperti biaya
konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan Irian Barat dari Belanda dan kenaikan
gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi, pembangunan
sektor riil masih juga belum menunjukkan adanya perkembangan sehingga pasokan
barang, terutama pangan tetap mengalami kekurangan. Dampak dari berbagai
kondisi tersebut menimbulkan pembengkakan defisit APBN yang semakin kronis yang
disertai pula oleh defisit cadangan devisa. Sama seperti pada periode
sebelumnya, defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang Muka dari bank Indonesia
yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan uang. Oleh karena itu uang
beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi. Tahun 1965/1965 kenaikan
inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan inflasi tertinggi sepanjang
sejarah perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter ditujukan untuk menekan
inflasi tersebut.
Kebijakan Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim devisa
terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat melalui
kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis barang.
Terjadinya keguncangan pasar di luar
negeri pada tahun 1960 an mengakibatkan kemorosotan penerimaan devisa terutama
dari ekspor karet yang menjadi komoditas utama pada waktu itu. Munculnya
berbagai jenis karet sintetis juga memberikan tekanan/ persaingan terhadap
hasil ekspor karet Indonesia. Di samping itu, naiknya impor beras juga sangat
membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai tekanan tersebut,
Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan devisa untuk
keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah
mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk
menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen Verordening
Tahun 1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang
dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana devisa.
Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan cara
menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan penggunaannya
melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal ke luar
negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa
terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya
peningkatan ekspor.
Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959,
Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan
beban APBN, memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi
paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan
devisa serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional.
Devaluasi yang dilakukan adalah
mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi
ini selain mampu meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada
pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga
mengakibatkan naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia
pada waktu itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia
serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut,
mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian
diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan
kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap
penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar
sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada
importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan
barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810
untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali,
terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi
eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen)
dari kurs tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar
tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple exchange rate system.
Kebijakan Utang Luar Negeri
1959-1966
Dalam usaha untuk meringankan beban
anggaran negara, dan memperbaiki posisi neraca pembayaran, salah satu kebijakan
yang ditempuh Pemerintah adalah melalui pinjaman dana dari luar negeri. Seiring
dengan adanya perubahan politik luar negeri, utang luar negeri pemerintah
sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur, seperti dari
RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk membiayai
pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga dipergunakan untuk membiayai
proyek yang tidak produktif, seperti untuk konfrontasi dengan Malaysia tahun
1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah tersebut telah menambah berat beban
Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi
keuangan negara atau tersedianya devisa yang berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah
mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9 juta
untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat Lockheed
Electra. Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah menjanjikan
pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu pendirian pabrik
Urea di Palembang dan pembangunan proyek listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan
1962 yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh
utang baru dari RRC.